Gubrak!
Ini persis teman saya, HS (maaf, inisial aja ya, demi privasi), beliau adalah aleg DPRD di sebuah Provinsi dari sebuah partai. Di Pemilu kemarin beliau mencalonkan diri sebagai Caleg DPR Pusat, tetapi ternyata tidak lolos. Sebelum itu, beliau pernah membantu bedah rumah warga dengan biaya mencapai Rp 20 juta. Saat iseng bertanya, kemarin Anda memilih siapa? Yang dibantu dengan menutup muka mengatakan bahwa tidak memilih HS, tetapi memilih yang memberi amplop.
Kejadian itu tidak hanya satu dua, Sodara-Sodara … tapi bunyaaaak.
Hipotesis saya, fenomena semacam ini mungkin yang membuat banyak para Caleg memilih langkah mudah: sebar amplop serangan fajar saja, dibanding membantu memberdayakan masyarakat. Biaya amplop hanya lima puluh, seratus, atau dua ratus ribu rupiah. Sekali memberi selesai. Mereka merasa tidak punya kewajiban apapun kepada konstituen saat bertugas di parlemen. Sementara, biaya pemberdayaan masyarakat mahalnya luar biasa.
Saya memahami dilema yang dialami para Caleg ini. Di satu sisi, mereka ingin berbuat kebaikan dengan tulus ikhlas, dan hanya ingin didukung saat ingin maju ke Parlemen—tentu dengan niat ingin memperjuangkan nasib mereka juga. Bukankah jika terpilih sebagai Aleg, mereka akan bisa berjuang lebih banyak? Namun nyatanya, apa yang dilakukan bertahun-tahun lenyap begitu saja, hanya karena serangan fajar.
Apa yang salah dalam hal ini? Sebenarnya siapa yang memulai membuat Pemilu menjadi sebrutal ini, dan membuat masyarakat menjadi semakin pragmatis dan “wani piro”?
Manajemen Pemberdayaan Masyarakat
Meski memahami kekesalan dan dilema yang dialami para Caleg, saya tentu tetap tidak setuju jika kemudian para Caleg mengungkit apa yang telah diberi kepada masyarakat. Apalagi jika ini terjadi pada PKS, sebuah partai yang mengklaim diri sebagai partai dakwah. Meski tidak berbuah dukungan, meski telah di-prank, kerja-kerja ikhlas tetap bermanfaat dan mendapatkan pahala, jika diniatkan untuk Allah SWT.
Hanya saja, memang perlu ada evaluasi mendalam bagi PKS, dan mungkin partai-partai lainnya yang memiliki kemiripan pola dengan PKS. Kesalahan sebagian para kader PKS adalah: ingin memberi namun kurang menyadari bahwa kemampuan terbatas. Bahkan kadang lupa, bahwa sebenarnya ada pihak yang lebih punya kewajiban melakukan apa yang semestinya mereka lakukan. Siapa yang berkewajiban? Tentu pemerintah.
Menurut saya, mohon koreksi jika salah, soal air bersih untuk warga Cisuru misalnya, sebenarnya itu adalah kewajiban Pemkot Cilegon. Saya merasa kurang sreg, ketika peristiwa tersebut viral, kemudian Pemkot Cilegon datang ke sana membawa air bersih dan mempostingnya di Medsos sambil tak lupa memojokkan “pihak yang memutus air bersih”, alias Pak Sumedi, yang sebenarnya hanya warga biasa dan tak punya kewajiban melayani masyarakat.
Selain pemerintah, jangan lupa juga, bahwa di sekitar kita ada banyak lembaga-lembaga charity dengan manajemen yang baik, seperti Rumah Zakat, Dompet Dhuafa, LazisMU, Lazis NU, IZI, dan sebagainya. Dulu ada ACT. Namun dibekukan, dengan alasan yang menurut saya mengada-ada. Padahal jasa ACT untuk pemberdayaan masyarakat juga sudah sangat besar. Mereka menggalang zakat, infak, sedekah, wakaf, dan hibah dari masyarakat, dan telah memiliki sistem pengalokasian dana dengan baik dan sistematis.
Lembaga-lembaga charity ini tentu bukan partisan politik dan tidak boleh dipolitisasi. Namun, bersama dengan pemerintah, lembaga-lembaga ini bisa lebih diandalkan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan.
Lantas, apa yang perlu dilakukan para akvitis untuk membantu warga yang butuh bantuan? Bisa dengan cara melakukan advokasi dan membangkitkan potensi masyarakat untuk bisa lebih mandiri. Atau membantu masyarakat mengakses anggaran-anggaran pemerintah, donatur, dan sebagainya. Aktivis tentu boleh mengeluarkan dana, tetapi harus terencana dengan baik. Melayani masyarakat itu akan menyedot energi dan biaya luar biasa. Jika terus mengandalkan dana mandiri, suatu saat pasti suatu saat akan kehabisan energi.
Saran Untuk Parpol dan Negara
Saran saya untuk PKS dan partai-partai lain yang memiliki program pemberdayaan masyarakat, Parpol-parpol harus mulai mengkapitalisasi dan memenej sebaik-baiknya semua sumberdaya yang dimiliki untuk tujuan jangka panjang, yakni kemajuan Indonesia lewat jalur politik. Dana-dana yang ada bisa dimanfatkan secara efektif dan efisien untuk pemberdayaan, namun dilakukan secara sistematis, bukan per individu seperti kasus di atas. Memang sebaiknya Parpol tidak hanya “kerja” saat Pemilu saja, dan tidak hanya bermain dengan serangan Fajar. Parpol bisa menjadi mesin pemberdayaan masyarakat yang andal. Bukan pamrih, tapi untuk menggolkan tujuan mulianya. Adab dan strategi bisa berjalan sekaligus.
Lantas, anggarannya darimana? Setiap tahun ada dana bantuan Parpol, namun jumlahnya hanya sekitar Rp 5.500 per suara per tahun. Misal ada partai mendapatkan 10 juta suara, maka hanya Rp 55 milyar saja per tahun. Sangat sedikit. Tetapi, sebagai institusi resmi, tentu Parpol bisa bekerjasama dengan eksekutif untuk bisa merealisasikan APBN untuk pembangunan yang lebih menyeluruh dan adil.
Jangan lupa, ketegasan penyelenggara Pemilu terhadap praktik-praktik Money Politics juga perlu dikuatkan. Saat ini, praktik tersebut sudah semakin brutal, vulgar dan menjijikkan. Para Caleg berdalih, kalau nggak pakai ini, mereka tidak mau memilih.
Sebenarnya, jika ada kemauan, bisa jadi Money Politics itu diberantas. Pidanakan mereka yang terlibat, baik pemberi maupun penerima, sehingga ada efek jera.
Lebih jauh lagi, dalam beberapa kesempatan bahkan saya berpendapat, bahwa negara perlu menanggung biaya kampanya para Caleg, tentu dengan Monev yang ketat. Setiap Caleg yang di-ACC KPU, otomatis mendapat dana kampanye dari negara. Lalu money politics ditindak tegas. Serangan fajar dalam bentuk apapun harus diberantas.
Memang akan ada pembengkakkan anggaran. Tetapi, nantinya akan ada penurunan anggaran-anggaran bocor karena korupsi, calo anggaran dan berbagai praktik mencuri uang negara yang merupakan fenomena Gunung Es di negeri ini.***