Jiwa Kepeloporan Kader Dakwah

Foto Ilustrasi

Kedua, ar-riyaadah al fikriyah wal ‘ilmiyah, kepeloporan pemikiran dan ilmu. Kepeloporan dalam idealisme, ideologi, pemikiran, ide-ide dan juga keilmuan. Hal ini baru bisa terwujud bila kita selalu bersemangat untuk melaksanakan perintah Allah: Iqra, baca! Kita harus selalu bersemangat membaca, baik membaca Qur’an, Hadits, maupun surat kabar dan majalah, termasuk juga mampu membaca situasi dan kondisi masyarakat karena masyarakat merupakan lembaran-lembaran buku besar yang juga harus dibaca. Di dalamnya ada lembaran-lembaran yang terkait dengan keagamaan, mustawa tadayyun sya’bi atau tingkat religiusitas rakyat, juga lembaran-lembaran budaya, ekonomi, sosial, politik, dan lain sebagainya.

Semangat membaca merupakan hal penting bagi kita sebagai da’i dan da’iyah sehingga akan dapat mengambil posisi, langkah-langkah, dan ucapan-ucapan yang tepat sebagaimana bimbingan Rasulullah saw kepada kita, khaatibun naasa ‘alaa qadri uquulihim, bahwa ketika berbicara dengan orang lain harus disesuiakan dengan tingkat intelektualnya. Sabda Rasulullah saw lainnya yakni khaatibun naasa ‘alaa lughati qaumihim, berbicaralah kepada manusia kepada manusia sesuai dengan bahasa kaumnya. Selain itu sabda Rasulullah saw, anzilun naasa manazilahum, menempatkan seseorang yang kita ajak bicara sesuai dengan kedudukannya secara proporsional. Jangan direndahkan namun juga jangan diagung-agungkan atau dikultuskan melainkan tetap proporsional sesuai dengan posisinya.

Semangat membaca dan menuntut ilmu merupakan tuntunan rabbani dalam Al-Qur’an. Sehingga semangat untuk menambah ilmu merupakan salah satu bentuk kepeloporan yang harus dimiliki.

Ketiga, ar-riyaadah bid-da’wah wal harakah, kepeloporan dalam dan pergerakan. harus selalu berada di barisan terdepan yang tidak harus terkait dengan jabatan tertentu. Jangan sampai baru akan berada di barisan depan bila diberi jabatan. Kita dapat mengambil ibrah dari peristiwa proses serah terima jabatan panglima dari Khalid bin Walid kepada Abu Ubaidah bin Jarrah ra di tengah medan pertempuran. Perintah Khalifah Umar bin Khaththab untuk melakukan serah terima jabatan panglima perang sangat mendadak, sehingga sempat memunculkan situasi gamang, tetapi kemudian menjadi sejuk setelah ada pernyataan Abu Ubaidah bin Jarrah, “Lau laa amra khaliifati amiiril mu’miniina ‘Umar ibnil Khaththab bi an akuuna ma’muuran ahabbu ilayya bi an akuuna aamiran.”, kalau saja bukan karena perintah Khalifah Umar bin Khaththab saya lebih suka jadi anak buah dibanding jadi pemimpin.

Oleh karena itu kita memahami bahwa wazhifah tanzhimiyah (tugas struktural) bukan tasyrif (kehormatan) melainkan taklif (beban), karena diperintah dan ditugaskan dan bukan karena mencari atau mengejarnya.

Sebaliknya Khalid pun dengan tenang menjawab: “Sekarang Anda pimpinan saya dan saya adalah prajurit, tetapi tolong izinkan saya menyelesaikan dulu satu pertempuran yang insya Allah akan memudahkan Anda nanti untuk memimpin.” Kata Abu Ubaidah, “Silahkan selesaikan pertempuran itu.” Maka setelah Khalid menyelesaikan pertempuran tersebut ia pun kemudian menyerahkan tugas-tugas sebagai panglima kepada penggantinya yang ditunjuk Umar yakni Abu Ubaidah bin Jarrah RA.***

Laman: 1 2

Tags: , ,