Nah, beramal jamai juga harus berkembang. Kemampuan kader-kader kita, ikhwan dan akhwat, dalam beramal jamai harus berkembang. Ingat amal jamai lebih substansi. la adalah kerja yang dinilai Allah SWT. Berkumpul dan berjamaah tidak akan ada artinya bila tidak diisi oleh amal jamai, yaitu kerjasama yang didukung oleh sama-sama kerja atau sama-sama kerja yang dibingkai oleh kerjasama. Sebab ada sama-sama kerja tapi tidak dibingkai oleh kerjasama.
Bisa jadi saya dengan SBY sama-sama sarapan pagi, tapi tidak kerjasama. Menunya lain, yang menyajikan lain, anggarannya lain. Kita bisa sama-sama duduk, sama-sama tidur dengan orang lain tapi tidak bersama. Jadi kalau amal jamai itu sama-sama kerja yang dibingkai oleh kebersamaan, atau kerjasama yang diisi oleh sama-sama kerja. Jangan kerjasama tetapi yang bekerja cuma pengurusnya saja.
Amal jamai inilah yang akhirnya diberi kredit poin oleh Allah swt. Level-level yang kita capai berdasarkan upaya kita memberdayakan dan mendayagunakan potensi yang diberikan oleh Allah swt. Level itu dicapai kalau kita aktif bekerja, mimma ‘amilu.
وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِمَّا عَمِلُوا ۚ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ
“Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am ayat 132)
Allah tidak lalai terhadap apa-apa yang dikerjakan hamba-hama-Nya. Dia tahu apakah seseorang berhasil atau tidak dalam mengekspresikan, mengaktualisasikan bakat, kafa-ah, dan potensinya yang telah diberikan oleh Allah.
Jadi levelling itu dihasilkan dari amal, mimma amilu. Kalau kita tidak beramal, meskipun berjamaah, ya tidak naik-naik. Segitu saja, mentok. Bahkan bisa jadi beban untuk jamaah. Karena jamaah ini untuk yang bekerja, yang aktif bersama.***